Kebudayaan DKI Jakarta
Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta, Jakarta Raya) adalah ibu kota negara Indonesia.
Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa.
Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia/Batauia,
atau Jaccatra (1619-1942), dan Djakarta (1942-1972).
Jakarta
memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk
berjumlah 9.607.787 jiwa (2010).[2] Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek)
yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa,[5] merupakan metropolitan terbesar di
Indonesia atau urutan keenam dunia.[6]
Selain
sebagai pusat pemerintahan, Jakarta juga merupakan pusat bisnis dan keuangan.
Di samping Bank
Indonesia dan Bursa Efek Indonesia, kantor-kantor pusat
perusahaan nasional banyak berlokasi di Jakarta. Saat ini, lebih dari 70% uang
negara, beredar di Jakarta.[17]
Jakarta
merupakan salah satu kota di Asia dengan masyarakat kelas menengah cukup besar.
Pada tahun 2009, 13% masyarakat Jakarta berpenghasilan di atas US$ 10.000. [18]Jumlah
ini, menempatkan Jakarta sejajar dengan Singapura, Shanghai, Kuala Lumpur dan Mumbai.
Budaya
Jakarta merupakan budaya mestizo,
atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Belanda, Jakarta
merupakan ibu kota Indonesia yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara.
Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak,
dan Bugis.
Selain dari penduduk Nusantara, budaya Jakarta juga banyak menyerap dari budaya
luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Jakarta
merupakan daerah tujuan urbanisasi berbagai ras di dunia dan berbagai suku
bangsa di Indonesia, untuk itu diperlukan bahasa komunikasi yang biasa
digunakan dalam perdagangan yaitu Bahasa Melayu.
Penduduk asli yang berbahasa Sunda pun akhirnya menggunakan bahasa Melayu
tersebut.
Walau
demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap
dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran,
Cilandak, Ciliwung, Cideng, dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan
yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga
Manik[19] yang saat ini disimpan di perpustakaan
Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun
bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa
Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Melayu
dialek Betawi. Untuk penduduk asli di Kampung Jatinegara Kaum,
mereka masih kukuh menggunakan bahasa leluhur mereka yaitu bahasa Sunda.
Bahasa daerah juga digunakan oleh para penduduk yang
berasal dari daerah lain, seperti Jawa, Sunda, Minang, Batak, Madura, Bugis, Inggris dan Tionghoa.
Hal demikian terjadi karena Jakarta adalah tempat berbagai suku bangsa bertemu.
Untuk berkomunikasi antar berbagai suku bangsa, digunakan Bahasa Indonesia.
Selain itu,
muncul juga bahasa gaul yang tumbuh di kalangan anak muda
dengan kata-kata yang kadang-kadang dicampur dengan bahasa asing. Bahasa
Inggris merupakan
bahasa asing yang paling banyak digunakan, terutama untuk kepentingan
diplomatik, pendidikan, dan bisnis. Bahasa
Mandarin juga menjadi
bahasa asing yang banyak digunakan, terutama di kalangan pebisnis Tionghoa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar